Selasa, 17 Agustus 2010

Neolitikum, Revolusi Industri Dan Mimpi

Dahulu kala mungkin, jauh sebelum era modern tiba, kita membayangkan ada keadaan yang begitu damai. Di masa itu manusia hidup tenteram, karena tanah tempat mereka berpijak begitu pasti, dan kebudayaan sebagai tatanan hidup kukuh berpuluh-puluh tahun, bahkan ratusan tahun.

Di masa itu, petuah orang tua adalah pelajaran berharga emas. Sekolah tidak diperlukan, karena adat istiadat masih mampu menjadi senjata. Di masa itu, bila kita mereka-reka lagi, cukuplah manusia patuh pada orang tua, maka selamatlah dia sampai di ujung hayatnya.

Tapi jauh sebelum itu, takdir sejarah telah memilih manusia. Lewat evolusi yang panjang, ditempa oleh proses survive yang keras, manusia belajar dan muncul sebagai satu-satunya mahluk yang menggunakan alat. Oleh karena itu manusia boleh berbangga dan mengklaim diri sebagai spesial.

Di zaman tenang itu, manusia juga menggunakan alat. Dan alat adalah bukti, bahwa manusia berharap mengatasi kelemahan. Peradaban terus bergerak, berderap meninggalkan masa tenang itu. Peradaban terus bergerak, dan roda yang menggelinding itu adalah tanda bahwa manusia terus bermimpi.

Dan lalu apakah alat itu, dan apakah hubungannya dengan mimpi. Alat adalah wahana untuk mewujudkan mimpi-mimpi. Dan sekaligus juga, alat adalah entitas yang terus-menerus memproduksi mimpi. Maka roda peradaban seperti terbakar, menggelinding dan bergerak semakin cepat.

Berabad-abad kemudian, dengan rentang masa yang panjang dan melewati beberapa fase sejarah, dari zaman neolitikum itu sampailah manusia pada fase sejarah yang disebut sebagai zaman Revolusi Industri. Dimulai dengan penemuan mesin uap, alat berkembang dengan kecemerlangan luar biasa. Sistem monarki ambruk, dan terpaksalah manusia berganti adat istiadat dengan sistem yang mampu mengakomodir perubahan-perubahan yang cepat, yang lahir akibat perkembangan tehnologi yang dahsyat itu.

Jauh setelah itu, dan tentu saja dengan perkembangan alat yang lebih fantastis, generasi baru lahir. Generasi abad XXI. Generasi yang hidup dalam ketidakpastian, karena perubahan bisa berlangsung dalam hitungan detik. Setiap hari manusia dihadapkan pada jutaan kemungkinan-kemungkinan, dan pada saat yang bersamaan, tidak ada tempat yang pasti untuk berpijak. Zaman ini kita juluki, era informasi, dan ada adagium yang hidup di dalamnya, siapa menutup diri, dia akan terlindas.

Di zaman itu, tidak ada ketenangan, meskipun hanya dipermukaan.  Di zaman itu mimpi menggebu-gebu, dan yang ada adalah kegelisahan. Dan di zaman itu juga, demokrasi adalah niscaya, karena dialah satu-satunya sistem yang terbukti mampu mengakomodir perubahan-perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat. Namun masyarakat jaman itu juga mengimpi, mereka menginginkan kedamaian. Dan mungkin berharap, kedamaian neolitikum bisa dihadirkan kembali.

Lalu kita kembali bertanya, bisakah manusia hidup damai dalam kedamaian. Bukankah di dalam kata damai terkandung juga kata : stagnasi, monoton, tidak ada dinamika dan disitu ada rasa yang hambar. Dan sebaliknya, bukankah gerak merepresentasikan keadaan hidup, menceritakan sebuah gairah.

Jadi mungkin manusia tidak butuh hidup damai ala neolitikum, tapi manusia hanya butuh berdamai dengan ketidakpastian, sehingga bisa hidup damai dalam ketidak-menentuan.
(Nasrul Sani M Toaha)