Kamis, 27 Mei 2010

Televisi dan Ledakan Peradaban

1939, tepatnya 11 mei, untuk pertama kalinya, sebuah pemancar televisi di operasikan di kota berlin, jerman. Dengan demikian dunia mulai berkenalan dengan alat komunikasi secara visual. Di Indonesia, TVRI melakukan siaran percobaan pada 17 Agustus 1962 dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Lalu 24 Agustus 1962 TVRI mengudara untuk pertama kalinya.

Awalnya, tidak banyak yang sadar – mungkin lebih banyak yang bereforia, bahwa itu adalah titik awal dari sebuah ledakan. Lalu ledakan ini, dengan segala dayanya pun tidak mampu menahan kita untuk mengkritik. Kita mulai bertanya-tanya, benarkah televisi menggiring hidup lebih baik. Keberatan yang umum dari kita adalah, anak-anak dan dewasa menghabiskan banyak waktu di depan televisi ketimbang belajar atau bekerja. Pun dengan kekerasan dan kriminalitas yang meningkat, seks bebas, drugs, dan konsumerisme, semua tanggung jawab itu kita bebankan pada pengaruh buruk TV.

Kalangan yang lebih terpelajar melangkah lebih jauh lagi. Kaum ini mengalamatkan kekhawatirannya pada kecenderungan penyeragaman manusia. Kecenderungan massif yang ditandai dengan makin mengglobalnya nilai-nilai hidup. Televisi jika ditelah mendalam lagi, pun ternyata melahirkan manusia-manusia yang terasing. Manusia yang raib dari dunia mereka sendiri. Manusia yang lupa dan jadi abai dengan persoalan lokal – persoalan rill mereka. Televesi dengan segala dayanya, melahirkan orang-orang yang malas belajar tentang lokalitas mereka, sebagai cara identifikasi dan formulasi penyelesaian persoalan tersebut.

Dalam pandangan lain, televisi juga dianggap sebagai media komunikasi satu arah. Televisi adalah alat yang membuat manusia tumpas jadi murid belaka, dijejali dengan berbagai informasi tanpa sempat mengemukakan pendapat. Tidak ada diskusi, tidak ada dialog, dan manusia-manusia kebanyakan jadi penonton belaka. Namun yang belakangan ini, kekurangannya mungkin telah ditutupi dengan tehnologi internet. Yang dimana, dalam tehnologi ini, setiap orang berhak menjadi guru maupun murid dari peradaban.

Kritik memang seperti gelombang, tubrukan yang tiada habis-habisnya. Semua dialamatkan pada cacat bawaan televisi. Dengan itu televisi belajar, mengurai kritik untuk berkembang ke arah yang lebih dinginkan. Pun dengan mengacu pada persoalan yang sama, kita bisa juga melihat dari perpestif yang sama sekali berlainan. Televisi bisa dilihat sebagai alat manusia untuk melompat. Alat untuk mengatasi keterbatasan manusia akan akses ruang dan waktu. Sadar tidak sadar, manusia dibawa berkelana ke tempat-tempat yang jauh, memuaskan kebutuhan manusia akan keingintahuan. Manusia dibawah ke tempat yang mustahil dijangkau oleh tubuhnya yang terbatas, serta umurnya yang pendek.

Dengan televisi, informasi yang tadinya beku kini saling bertukar. Sekarang fakta bisa dibagi dan ilmu bisa dikembangkan bersama. Orang-orang di benua lain bisa belajar dari realitas orang lain dari benua lain. Peradaban yang dulunya lamban kini berjalan serba cepat. Ilmu pengetahuan merambat dari orang ke orang, dari kerumunan ke kekerumunan, tak peduli, mereka suka baca atau tidak.

Dengan tiadanya televisi, pada tingkat lokal mungkin orang jadi seragam hidupnya. Dengan tidak menonton manusia tidak bisa menciptakan perpestif baru tentang lokalitasnya yang diakibatkan kurangnya pengetahuan serta refrensi dari dunia lain. Bukakankah tiada televisi, berarti orang bisa malas “mempelajari” lokalitasnya, yang boleh jadi disebabkan kurangnya hal-hal baru yang stimulatif dilingkup hidup mereka yang monoton.

Pun dengan televisi pulalah, dengan menangkap citra yang beragam itulah, manusia bisa memperkaya imajinasinya. Lalu kita mungkin tidak lagi dirisaukan dengan keluhan anak-anak di pedalaman berkata, bahwa mimpi pun ditempat mereka sangat terbatas – dibatasi oleh ketidaktahuan mereka. Televisi melahirkan anak-anak yang punya kesempatan menonton, anak-anak yang memperkaya mimpi atau setidaknya mengadopsi dari apa yang mereka saksikan di televisi. Bukankah yang menuntun dan menggerakkan manusia maupun sebuah bangsa adalah mimpi, bukankah dengan bergerak manusia bisa berkembang, atau paling minim bergerak berarti berubah.

Hidup memang terus bergulir dan kenyataan-kenyataan ikut menggelinding. Dan televisi adalah salah satu dari kenyataan itu, kenyataan yang lepas dari busurnya dan tak mungkin dibendung lagi. Dia adalah daya yang bisa dijinakkan namun hampir mustahil tuk dimusnakan. Perjalanan panjangnya telah mewarnai dan diwarnai oleh manusia. Pada akhirnya, kritikan akan membangun, namun menentang keberadaannya akan terdengar seperti orang yang pesimis. Terdengar seperti orang-orang yang mempelajari sejarah dan merindukan suatu masa depan yang sama persis dengan masa lalu.(Nasrul Sani M Toaha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar