Kamis, 03 November 2011

Manusia Dalam Gerimis



         Malam itu gerimis. Kami menyeberangi jembatan, memotong kompas di pusat pertokoan dan berdiri mengantri tiket di Twenty One. Cuma tigapuluh ribu berdua, dan duapuluh ribunya kutukarkan dengan koin game di kasir. Aku naik motor gaya Rossi dan dia menembak pesawat musuh dengan laser birunya, persis seperti hero di film-film Holliwod. Sepuluh menit dan habis sudah koin itu. Kemudian kami beli pop corn warna hijauh dan masuk teater pada jam tujuh.
          Sesuai permintaan, kami kebagian tempat istimewa di bagian belakang. Mulanya gitu, kami ngemil pop corn dan ngelototin layar. Lalu lampu padam dan di layar tertulis, ada apa dengan cinta.
          Dua tahun sudah aku tidak ngegerayangi tete. Terakhir saat umurku enam belas tahun. Waktu itu aku di bar. Kami lagi ngerayain akhir ujian kelas satu dan mentraktir diri kami sendiri dengan minum-minum sampai kagok. Saat mabok itulah aku dapat pujian sama temanku yang perempuan. Kira-kira ngomongnya begini ”kamu cakep juga ternyata”, dan itu bikin aku naik nafsu. Lalu kami begituan, tanganku dan tetenya beradu mirip orang yang lagi bikin adonan. Besoknya waktu aku ngajak lagi, dia malah sinis dan bilang dalam bahasa yang dingin, akurat, plus tajam.“aku tidak mabok, jadi kamu tidak cakep lagi, OK!!!, jadi jangan mimpi bisa ngedekatin aku!!!”.
            Praktis habis itu aku tidak pernah lagi. Paling banter cuma nonton BF atau ngocok sendirian di kamar mandi. Sebetulnya aku masih sempat pacaran dua kali setelah itu, tapi megang tangan pun tidak. Malah yang terakhir pakai jilbab dan sering ngasih ceramah part time yang membosankan. Kami pacaran cuma tiga minggu, karena aku orangnya suka jujur. Waktu aku terus-terang ke dia kalau aku suka ngebayangin dia yang lagi telanjang kalau aku ngocok, saat itu juga aku langsung didepaknya.
            Belum lagi selesai lagu pembuka, sudah kupencet tobol start permainan. Aku pegang tangannya. Dia tidak respon, tidak marah dan tidak ngelarang. Jadi tunggu apalagi, ruangan gelap dan password sudah di tangan. Tidak ada alasan untuk tidak memencet gas dan berlari sekencang-kencangnya. Kami ber-kissing ria. Tanganku nempel di dadanya sampai ada tulisan, “the end” di akhir film.
            Sebelum pulang, kami ke toilet dulu. Dia merapikan bajunya dan aku kencing mengendorkan tegangan di kepalaku. Seperti tadi, kami memotong kompas lagi di pusat pertokoan. Kali ini kami mampir di warung sebelum jembatan untuk menghabiskan empat porsi siomay serta dua gelas teh hangat, dan kutandaskan sebatang Marlborro-ku dengan kecepatan yang mengagumkan. Habis itu kami melanjutkan perjalanan, bergandengan tangan dan menyusuri jembatan dengan langkah yang cepat. Lalu kami belok kiri di ujungnya, di jalan yang pas untuk satu mobil. Kami melompat jika ada genangan air. Suasana remang dan dingin begitu sempurna.
Begitulah, waktu pintu dibuka kami seperti magnet, saling melompat dan merangkul dan menguapkan beban pikiran yang di perjalanan. Lalu kami ke kamar menuntaskannya, dia ngangkang dan aku dipersilahkan untuk mempraktekkan sebelas macam gaya yang cuma bisa kukhayalkan selama ini. [Jakarta, 20 Juli 2004] Nasrul Sani M Toaha

                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar