Senin, 14 Juni 2010

Pengetahuan Yang Terjepit Antara Peterporn, Moral Bangsa Dan Kebebasan Individu

Jika ilmu pengetahuan adalah buah, maka rasa ingin tahu adalah pohon yang melahirkannya. Jika ilmu pengetahuan adalah pohon, maka buahnya adalah kebijaksaan. Manusia yang tumbuh tanpa rasa ingin tahu menghasilkan manusia yang miskin pengalaman.

Selain itu kurangnya rasa ingin tahu juga berbanding lurus dengan kemalasan. Maka menjadi serius ketika kita dipertontonkan dengan aksi rasia yang marak akhir-akhir ini. Tidak jarang di televisi, kita menyaksikan bagaimana sekelompok orang tiba-tiba saja masuk ke ruang kelas, merazia ponsel para siswa, dan begitu yakinnya menyatakan tindakan mereka adalah proteksi terhadap moral bangsa. Tindakan yang manakah yang mengancam bangsa ini sehingga dirasa perlu melakukan razia, rasa ingin tahu siswakah, atau razia itu sendiri yang mengancam tumpasnya rasa ingin tahu siswa. Merujuk ke paragraf awal, jika ilmu pengetahuan adalah buah, apa jadinya jika pohonnya dibabat.

Kontra produktif dengan itu, sering juga terdengar lontaran para pemuka bangsa, yang mengeluhkan rendahnya kepekaan sosial masyarakat. Rendahnya partisipasi, rendahnya minat belajar dan rendah-rendah lain yang masih terkait dengan rendah tadi. Lalu ketika masyarakat berduyung-duyung mencari sebuah video porno karena terusik rasa ingin tahunya, serta merta, kita juga dihebohkan dengan aksi razia oleh polisi. Kalau pemuka bangsa mengeluhkan rendahnya kepekaan sosial, lalu kenapa ada usaha mengkrangken rasa ingin tahu masyarakat. Seakan-akan rasa ingin tahu tidak jalin menjalin dengan tumbuh-kembangnya keinginan belajar. Seakan-akan rasa ingin tahu itu tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan, kesadaran dan kepekaan sosial.

Moral Versus Kebebasan

Pernakah anda mendengar slogan ini, “semua tempat adalah kelas, semua orang adalah guru, dan semua hal adalah ilmu. Kalau manusia bisa belajar dari semua hal, di setiap tempat dan setiap orang, lalu kenapa ada orang-orang tertentu yang mau mengatur apa yang harus dipelajari masyarakat. Sadarkah mereka reformasi telah 12 tahun dan orde baru sudah tumbang. Mengingat kita masih berproses, wajar jika sebagian dari bentuk dari tirani itu masih hidup. Yang menjadi masalah ketika itu coba dihidupkan kembali.

Setiap individu punya hak, termasuk untuk melihat apa yang menjentik rasa ingin tahunya. Selain sumber ilmu, dia juga merupakan representasi dari kebebasan individu. Jika alasannya merusak moral bangsa, menurut saya, jauh lebih besar daya rusaknya jika kebebasan itu sendiri yang dikekang. Dan jauh lebih tidak bermoral, jika melakukan tindakan-tindakan yang merepresentasikan sebuah tirani.

Bangsa ini masih berproses, masyarakat masih perlu belajar bagaimana memaknai kebebasan, dan bagaimana bertanggung jawab terhadap kebebasan yang diembangnya. Bukan malah menutup kran-kran kebebasan.

Semasa kecil hampir semua dari kita pernah menonton film porno, dan hanya sedikit diantaranya melakukan hal-hal yang melanggar hukum, semisal pemerkosaan dan pelecehan seksual. Jadi karena setiap orang memaknai pengalaman yang sama secara berbeda. Maka yang harus ditindak bukan yang menonton, tapi yang melakukan tindak kejahatan setelah menonton.[]Nasrul Sani M Toaha