Senin, 31 Mei 2010

Pendidikan Harus Melahirkan Manusia Demokratis

Meskipun kita meyakini membawa cacat bawaannya sendiri, namun genderang demokrasi terlanjur kita tabuh. Sedemikian rupa, sistem sebagai perangkat-perangkat sosial telah kita arahkan untuk mendukung. Maka sekarang tidak ada kata untuk mundur, sekali layar terkembang, pantanglah kiranya kita bersurut ke belakang.

Seperti perangkat-perangkat sosial lainnya, sistem pendidikan pun kita sudah arahkan. Sekarang kita jauh lebih sadar, pendidikan bukan lagi sebatas untuk menciptakan manusia-manusia yang cerdas otaknya belaka. Pendidikan lebih dari itu, adalah alat untuk mengelolah karakter dan mentalitas seseorang. Maka di era reformasi ini pendidikan sebagai alat, telah bergerak ke kurikulum yang diorganisir untuk menciptakan manusia-manusia siap hidup di dalam sistem yang demokratis.
Kurikulum adalah yang subtansial dari pendidikan. Dialah yang merupakan suprastruktur, pembentuk ide. Maka sudah wajib adanya kalau doktrin pendidikan adalah doktrin tentang demokrasi. Alibinya, meskipun subtansinya adalah doktrin, setidaknya dia berusaha memberi jarak kepada manusia terhadap doktrin itu sendiri. Atau setidak-tidaknya, tidak mengukung manusia dengan doktrin yang super dogmatik.
2 Mei ini adalah saat yang tepat untuk berefleksi tentang dunia pendidikan kita. Satu hal yang sampai saat ini belum kita sentuh sama sekali – teknis dan sederhana memang, namun punya dampak besar – yaitu aturan rambut dan seragam. Aturan ini menciptakan pengalaman buruk dari sebagian kita yang pernah mengecap bangku sekolah. Di sana ada penjajahan yang tidak bisa didefinisikan, namun samar kita rasakan. Kita seolah diatur menjadi sesuatu yang harus, yang tidak membebaskan kita dalam memilih. Ilmu pengetahuan memberi kesempatan manusia berimajinasi seliar-liarnya, dan mengajar manusia berharap pada ketakterbatasan. Namun dengan aturan ini, jelas-jelas bertolak belakang pada sesuatu yang ingin digapai pendidikan.
Pengalaman sekolah yang buruk, menciptakan sejarah penderitaan panjang bagi personalitas kita. Aturan rambut dan pakaian seragam adalah bentuk pemaksaan yang sekaligus beroperasi di alam bawah sadar dan berlangsung terus menerus tanpa disadari. Begitupun dengan daya rusaknya yang juga tak tersadari.
Pemaksaan pada wilayah fisik dalam dunia pendidikan kita menekankan pada suatu kepastian, maka lahirlah kita sebagai pribadi-pribadi yang unekspresif. Manusia-manusia terpaksa, yang melahirkan individu-individu yang kaku, dikarenakan sejak kecilnya tidak dibiarkan mengekspresikan ke-aku-annya. Lewat pembatasan itu, sejarah kehidupan bernegara kita berpotensi membentuk individu menjadi pribadi-pribadi yang tidak utuh sebagai manusia. Sebuah penyimpangan terhadap cita-cita mulia UUD 45.

Militerisme Pendidikan Kontra Demokrasi
Sekilas bila direnungkan, ada unsur militer yang hidup dalam gaya tersebut. Aturan-aturan yang mesti dan mengekang, seolah-olah dengan tidak berlaku itu, kita tidak akan tumbuh menjadi manusia yang berbudi. Pengalaman sekolah adalah pengalaman yang militeristik, maka wajar sahaja bila manusia-manusia Indonesia tumbuh menjadi masyarakat yang cenderung bermentalitas militeristik.
Apakah pengalaman pendidikan yang membebaskan harus ditunggu sampai dibangku kuliah?. Dengan sistemnya yang mendewasakan, apakah kuliah bisa mengatasinya?. Mungkin tidak sepenuhnya, selain karena tidak semua orang berkesempatan mencicipi bangku kuliah, juga karena manusia adalah individu yang hidup dalam sejarahnya. Kita melihat terlalu banyak mahasiswa baru yang gagal beradaptasi terhadap lingkungan pendidikan yang bertikung drastis. Ada banyak diantara mereka, berpegangan kuat pada tradisi lingkungan pendidikan sebelumnya tuk melawan arus perubahan itu. Ada pula terobang-ambing tak jelas, meskipun tidak bisa dipungkiri ada juga yang berhasil menemukan jalan yang gemilang.
Pengalaman masa kecil adalah pengalaman yang urgen bagi individu, dan tidak setiap manusia berhasil melepaskan diri dari ide yang sudah terlanjur mengkristal. Ada banyak manusia yang sudah berakhir pada masa yang sangat mudah, tidak mampu lagi berdialog dengan hal-hal baru dikemudian hari. Bagi mereka yang ini, yang sudah membeku pada usia dini, hal baru selalu ditilik secara apriori. Hal baru sekedar ditelan tuk diolah tuk memperkuat yang sudah ada. Jadi ide demokrasi yang diusung kurikulum kita sekarang mestinya ditunjang dengan pengalaman dalam lingkungan pendidikan yang membebaskan sedari awal.
Baju seragam dan rambut yang pendek, boleh jadi tidak diinginkan. Boleh jadi itu tidak mengekspresikan siapa kita. Atau membatasi diri untuk mengespresikan kedirian kita. Sangat jadi itu tidak mengajari kita untuk berbeda, dan tumbuh menjadi manusia yang tidak bisa hidup dalam lingkungan yang bhineka. Atau individu yang terbiasa disuguhi ini menciptakan manusia-manusia inferior yang tidak punya jiwa kepemimpinan, karena kurangnya pengalaman dalam mengambil keputusan.
Namun diluar sana riuh kita dengarkan, Indonesia adalah negara Bhineka Tunggal Ika. Atau sering kita ucapkan, perbedaan adalah kekayaan. Dan warna itu aneka. Namun kenapa selama 12 tahun kita dipaksa memakai baju putih sahaja. Apakah teriakan pancasila itu sebatas jargon belaka, dan kata itu tinggal kata yang cuma menggetarkan udara. Hambar dan tak pernah menggetarkan hati dan pikiran kita. Manusia Tuhan yang diciptakan dengan keunikannya, apakah petanda rambut pendek dan baju seragam itu adalah simbol perlawanan kita terhadap kenyataan. Entahlah, yang jelas manusia yang mengalami penderitaan panjang akibat pengalaman pendidikan yang menjajah, tidak akan bertumbuh menjadi manusia yang dapat diharapkan untuk mendorong demokratisasi yang kita idamkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar