Minggu, 02 Mei 2010

Gerilya Goenawan Mohamad Melawan Belenggu

Bagi saya, Goenawan Muhamad atau biasa kita sebut GM adalah individu yang menakjubkan. Kecuali dalam beberapa forum diskusi, memang saya tidak pernah bersentuhan langsung dengannya. Namun saya mengenal dia lewat beberapa karyanya, terutama Catatan Pinggirnya yang mengagumkan. Dalam keindahan bertutur, tulisan-tulisan GM tersebut seperti perangkap, yang secara perlahan-lahan, menjerat pembaca masuk ke dunia ciptaannya, dunia yang sarat kontemplasi.

Dalam tulisan ini, saya tidak ingin membahas panjang lebar tentang kehidupan GM, menurut saya itu sudah final, GM dengan ide-idenya adalah bom yang siap meledak setiap saat. Dia adalah emas bagi generasinya, dan dia pantas dijadikan ikon dalam khazanah pemikiran Indonesia kontemporer. Saya lewat tulisan ini, hanya ingin menghidupkan kembali beberapa karya GM yang dipenakannya antara tahun 1978 sampai 1982, dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Catatan Pinggir 1, yang antara lain, “Ketika Koran-koran ditutup 1978 (28 Januari 1978), Seorang Presiden dan Sebuah Sajak (11 feberuari 1978), Konflik (23 Mei 1981) dan Memang Selalu Demikian Hadi (13 Juni 1982). Keinginan saya itu dimulai dari sebuah situasi, situasi politik yang menurut saya relevan untuk membangkitkan kembali tulisan-tulisan ini dari liang lahatnya.

Mimpi tentang demokrasi - yang saya rasa pemicu lahirnya tulisan-tulisan GM - bisa jadi hantu buat kita. Lumrah jika orang ingin jadi GM, namun tidak ada dari kita yang ingin bermimpi seperti GM. Mimpi GM muda memang indah, tapi ibu yang melahirkan kerinduan tersebut, adalah situasi penuh teror. Situasi politik di mana kebebasan berpendapat tidak mempunyai ranah dalam kelamnya sejarah politik Orde Baru.

Demokrasi adalah sesuatu yang ingin kita alami, raba dan jamah. Terlalu suram rasanya jika kita terjerembab dalam lumpur yang sama. Akhir tahun 70-an saat GM menulis artikel yang dia beri judul “Ketika Koran-Koran Ditutup, 1978″, sejatinya memang masa puberitas Orde Baru, era dimana rezim tersebut mengkonsolidasi kekuatannya untuk menterali-besikan kebebasan. Dengan tragis GM menggambarkan situasi zaman itu dengan pembukaan yang miris ” Di setiap masa” kata GM, ” nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tetapi tidak gampang untuk diam. Kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai. Di luar pintu, pada saat seperti ini, hanya ada mendung, atau hujan, atau kebisuan, mungkin ketidak acuhan. Semua teka-teki”.

Rasanya, dengan membaca paragraf pembuka tersebut, GM membawa kita menjelajah ke tempat yang paling suram, jauh dari hiruk-pikuk manusia, di mana kesunyian jadi mesin pembunuh paling efektif, yang tanpa kita sadari, lambat-laun menghancurkan kemanusian kita. Rasanya, demokrasi memang seksi, paling tidak di mata GM dan dalam kondisi keterbelengguan.

GM tidak rela, dia protes. Suatu kondisi damai yang coba dibangun penguasa dia tampik. Karena GM tahu, kedamain seperti itu justru mengandung kanker. Lalu dia menulis, masih dalam artikel yang sama ” ketika republik ini didirikan, iapun tidak dimaksudkan untuk hanya berupa hutan, laut dan pulau-pulau tropis yang membisu. Tertib, tentram, aman dan makmur memang suatu cita-cita. Tapi sebuah negeri harus selalu siap dengan kenyataan-kenyataan. Bahkan kenyataan-kenyataan yang terkadang Nampak semrawut itu barangkali mengandung hikmah”.

Orang boleh mendebat, apa sebenarnya maksud dari penolakan GM, atau apa sebenarnya sumber daya tolak “sesuatu” itu. Yang jelas, kata GM, ” Ia bukan semata-mata senjata. Barangkali ia adalah sesuatu kenyataan yang sederhana saja. Kenyataan itu, yang tumbuh dari keaneka-ragaman Indonesia, yang menyebabkan Pancasila lahir, menuding : tidak ada suatu kekuatan pun yang bisa memonopoli Indonesia”.

Jika konflik adalah risiko bagi kebhinekaan, dan kebhinekaan adalah risiko bagi berdirinya Indonesia yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Maka menurut yang tersirat dari tulisan GM muda, demokrasi adalah jawaban. Sampai batas ini, konflik bukan lagi kenyataan, bahkan tidat tepat jika disebut risiko, tapi lebih dari itu, konflik sudah bermetamorfosis jadi sesuatu yang dibutuhkan. Dia adalah bahan bakar, roda penggerak masyarakat.

Dalam tulisannya, saya melihat GM menganggap konflik dalam demokrasi adalah roh, nyawa pembawa kemajuan. Seperti tulisnya ” seseorang pernah mengatakan, bahwa demokrasi pada dasarnya adalah management of conflicts. Tekanan tentu saja diletakkan pada kata “konflik”, bukan pada kata “manajemen”. Sebab sistem politik apapun selalu berniat mengelolah segala hal yang timbul dalam hidup bersama, termasuk pertikaian. Namun hanya demokrasi yang mengakui bahwa konflik adalah bagian dari kita, biarpun kita di satu lubuk, biarpun kita di satu kandang “.

Gerilya GM melawan keterbelengguan, kembali ia tegaskan dalam sikapnya terhadap totaliatarianisme, bagi GM totalitarianisme tak punya pengakuan terhadap perbedaan pendapat.” Di sana individu adalah dosa asal” kata GM “berbeda merupakan bid’ah dan konflik adalah satu-satunya penunggang kuda Apokalipsa, pembawa malapetaka”. Dengan cermat GM menggambarkan ” Di lautan massa Maois, di kancah Pengawal Merah, siapa yang tak pandai mengutip kata-kata Mao dengan tepat berarti bukan kita, melainkan mereka. Psikologi totalitarianisme berbicara, bahwa siapa saja yang tak bersama kita adalah musuh kita “.

Ketakutan GM nampaknya bergetar disetiap tulisannya. Sepertinya GM tidak rela, Indonesia terperosok ke jurang yang sama dengan Cina. Pada tahun-tahun itu, berkali-kali GM mengulas tentang Cina. Mao dari sisi yang mengagumkan memang kerap tampil dalam tulisan-tulisan GM, namun jarang sekali dia berbicara sisi positif dari sistem politik diyakini Mao yang panik. Dan ulas GM “ management of conflict itu? Pada saat kita mempersepsikan konflik sebagai semacam setan, jin, pageblug. Wabah, gempa bumi, angin ribut, atau black magic yang diam-diam menikam, kita pun tak berbicara tentang manajemen. Demokrasi kadang mati karena panik”.

Kekuasaan memang mengandung lupa. Dia membawa dosa asal. Carter yang mencoba menafsirkan sebaris puisi Dylan Thomash, pernah berkata ” bagi saya, itu berarti bahwa seorang yang kuat dengan daya terobos yang kokoh terhadap sebuah bangsa…. Dapat bersifat tak sensitif (kepada perasaan orang lain). “Terpisahnya kekuasaan dari rakyat” katanya pula ” kadang tidak diketahui pemimpin yang kuat. Dan sifat tidak peka, yang memang sudah terkandung dalam tiap kekuasaan, seharusnya merupakan peringatan bagi kita.

Melihat keadaan sekarang ini, ketika etika berpendapat mulai dipersoalkan, tentu mengandung gusar. Adakah ini benih bagi suatu permulaan. Adakah kita akan bernasib sama seperti GM muda yang merindukan kebebasan. Agaknya, meskipun reformasi baru seumur jagung, perjuangan mulai dikhianati, sadar tidak sadar. Kegalauan kita itu - yang juga terekam dalam puisi Taufiq Ismail yang dia tulis pada 1966, ketika apa yang di sebut Orde Lama sedang ditumbangkan ” Setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah penghianat dan para penjilat… Setiap perjuangan menghadapkan kita pada kaum yang bimbang…. Setiap perjuangan yang akan menang selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian, dan para jagoan kesiangan” - mulai menjakiti lagi. Agaknya, dalam setiap sejarah, hal-hal macam itu selalu akan berulang, seperti pesan Taufiq Ismail kepada kita, “jangan kau gusar, memang demikian halnya”

” Agaknya” kata GM ” Meskipun, sebenarnya penghianatan kepada perjuangan tidak selalu begitu cepat dan begitu jelas seperti ketika pada puncak sengitnya pertempuran, seorang kawan kita lari ke pihak lawan karena dibeli. Dalam kasus semacam itu, warna-warna segera nyata dan tegas: hitam, putih, atau kuning. Tapi memang selalu demikian yang selalu terjadi - ialah penghianatan dalam proses yang lebih pelan. Yakni ketika asap peperangan telah kalis dan musuh telah kalah”

Ketika kita memutar waktu dan kembali ke zaman kita, tampak ada persamaan kabur antara apa yang dilawan GM juga Taufiq Ismail, dengan apa yang kita hadapi sekarang. Aneh memang, namun itulah kenyataan. Kita harus selalu siap berperang melawan lupa - lupa yang memang terkandung di setiap kekuasaan dan di setiap masa menang. 1 juni 1945, ketika pidato pertama tentang Pancasila diucapkan, Bung Karno juga berkata tentang hal itu: ” tidak ada satu Negara boleh dikatakan hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan dikira Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira di Negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahuwata’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan sehari-hari, kita selalu bergosok…”.

Agaknya sulit mewujudkan demokrasi - butuh perjuangan, namun, jika kita konsisten dengan reformasi, perlu rasanya kita menginternalisasikan apa yang pernah diucapkan Jimmy Carter tentang demokrasi ” kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi mungkin, kapasitas manusia untuk sewenang-wenang menyebabkan demokrasi perlu “. ( Nasrul Sani M Toaha )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar