Kamis, 20 Mei 2010

Seorang Nenek, Cucu, dan Satu Pertanyaan Tentang Kematian

Akhirnya hari itu datang juga, akhirnya ketakutan itu nyata juga. Maka dia terkulai, dia menangis. Ada hari-hari yang entah indah entah tidak, namun jelas pernah dia jalani. Dan karena itu ada kenangan yang hidup, bukan hanya kemarin, tapi bahkan masa setelah hari pengkuburan itu.

Kematian, adakah pantas dia dipikirkan. Bukankah dia merupakan kenyataan yang biasa saja, yang perlangsungannya dialami sejak semesta awal dilahirkan. Kematian, bisakah kita meratapinya meski kita tahu dia niscaya.

Sejak yang renaisans dilahirkan di eropa, manusia memandang peradaban dengan mata rasional. Usaha disegala hal dikontruksi lebih objektif, tapi toh manusia tetap juga menangis. Adakah yang rasional belum sepenuhnya terwujud, dan kita manusia masih berproses terus ke arah sana. Dan apakah ukuran sempurna tidaknya peradaban adalah sampai atau tidaknya kita. Ataukah memang manusia lahir dibekali dengan sikap-sikap irasional yang menjadi potensi dan sekaligus cacat bawaannya.

Cacat?, pantaskah kata itu. Bukankah yang subjektif membuat hidup lebih personal, lebih bisa merasa. Apakah tangis tanda kelemahan, cermin bahwa si manusia belum bisa menyerap ilmu-ilmu modern dalam dirinya. Ataukah tangis hanya berbicara tentang penderitaan belaka, sirat bahwa si jiwa sedan tertekan. Bukankah dalam tangis ada juga kenikmatan, dalam ratapan ada getaran, dan dalam kesedihan terlahir energi. Dan kesemua itu menghidupkan si manusia bersangkutan.

Kematian dalam manusia bukanlah kenyataan biasa tak bergreget. Kematian dalam manusia bukanlah kenyataan biasa yang berlangsung sama pada setiap manusia. Karena selain punya potensi objektif, manusia juga mahluk subjektif. Maka kematian sebagai perpisahan berlangsung lebih personal, lebih intim, dan oleh sebab itu lebih menyedihkan.

Maka lelaki itu menangis, meskipun mungkin sang nenek memang sudah mengimpi mati. Dia bersedih, meskipun rasionalnya dia bahagia. Karena neneknya yang itu, adalah nenek yang renta sudah, dimana tubuh tidak lagi sanggup menyerap kebahagiaan hidup. Tubuh yang tua adalah tubuh neneknya itu, adalah tubuh yang membangkan sudah, tubuh yang tidak lagi patuh. Maka normalnya dia bersuka. Namun toh dia tetap menangis, karena rumitnya kematian melebihi rumitnya kerja otak manusia. Maka seperti Chairil Anwar dia pun mencipta puisi :

Kau yang pergi, menghilang tertanam di bumi.
Adakah bisa bersua di semesta yang lain.
Kau yang renta dan tua sudah, tahu kau mesti kini aku berkabung.
kau yang lapuk sudah, sirnalah kini kau tertanam di bumi.

(Nasrul Sani M Toaha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar