Selasa, 16 Februari 2010

Indonesia : Doa Untuk Demokrat dan Partai-partai Oposisi

Sukses partai-partai lain menggebuk demokrat adalah bukti bertapa anehnya politik. Bertapa tidak, partai-partai lain tidak pernah mencatat kemenangan sejak pemilu legeslatif 2004. Di Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar, dan Makassar, mereka menebar kagum, menelusuri dana Century tanpa rasa takut secuilpun. Wakil partai di pansus seperti Achilles, prajurit Yunani yang gagah berani itu. Mereka datang untuk membalas dendam.

Demokrat, SBY dan Harapan Kita

Kita tahu, sebelumnya SBY dan Demokrat tidak pernah seterpuruk sekarang ini, hingga memaksa seorang destroyer seperti Ahmad Mubarak bermain sebagai bek persis di depan gawang. Partai-partai lain merebut simpati justru setelah kemenangan telak SBY dan demokrat pada Pileg dan Pilpres 2009, saat mereka dalam kondisi terlemah.

Di Demokrat ada seorang yang terkesan sangat santun, suatu waktu dia tersenyum, bahkan dalam masa-masa sulit. Dia muncul dan hilang untuk melindungi keputusan-keputusan presiden. Dia sangat cerdas, tidak ada yang menyangsikan, dan di sisi lain, dia juga tidak pernah memperlihatkan wajah yang buruk. Logika-logikanya selalu mengesankan, menyulap yang irasional jadi kelihatan mungkin. Kali ini, dia datang dengan sendirinya untuk menceritakan kegalaunnya, tentang sang presiden yang di hina dengan kerbau. Kali ini senyumnya yang dulu ramah sekarang bercampur emosi, dan logika-logikanya terkesan mengada-ada. Tak diragukan lagi, Andi Alfian Mallarangeng menghadapi sesuatu yang besar.

SBY seperti seorang politisi dari dunia lain. Dia tinggal di Cikeas, sangat sabar, menunggu para politisi muncul dan menyaksikan mereka pergi setiap hari. Lalu satu momentum tiba , Taufik Kiemas buat blunder, dan SBY mencetak gol dari posisi yang tidak diduga-duga. Satu peristiwa yang aneh, seperti melawan takdir. SBY bicara banyak tentang politik dan demokrasi dengan pendekatan berbeda, ucapannya tidak pernah marah dan mengandung kesantunan.

Namun satu hubungan yang aneh, antara SBY dan democrat, yang menjauhkannya dari ucapan-ucapannya. SBY selalu di depan dan demokrat seolah tertinggal jauh di belakang. Hal ini bisa menjadi pemantik untuk mempertanyakan SBY, juga demokrat. Sampai saat ini, kita belum menyaksikan, hubungan SBY dan Demokrat yang didambakan. SBY seperti pemilik, dan demokrat kelihatan terkukung. Mungkin karena sejarah, atau karena personalitas SBY yang terlampau kharismatik.

Tapi masalah yang serius adalah, kader-kader demokrat sebagaimana PDIP belum memiliki posisi yang tepat. Ini tentu sulit, kader demokrat harus memiliki kebebasan, harus bermain dengan gayanya sendiri, mereka membutuhkan ruang gerak. Namun tentunya mereka bukan pelukis, yang terbebas dari tuntutan dalam menciptakan karyanya.

Indonesia masih menunggu penampilan terbaik SBY dan Demokrat, hubungan sederajat dan juga demokratis. Kami semua ingin melihat mereka bangkit di 2010 sebelum sebelum beraksi pada Pileg dan Pilpres 2014. Tuntutan ini semakin besar bersamaan dengan terpuruknya citra kader demokrat dalam perang melelahkan menghadapi century.

Meskipun kadang terlihat ragu, sulit untuk membujuk SBY, karena dia seorang yang memiliki keyakinan. Saya selalu berpikir dia akan menjadi satu keuntungan tersendiri bagi demokrasi Indonesia. Saya tidak yakin betul apakah dia bisa berubah ataukah dia memang perlu berubah. Tapi mungkin dia bisa membawa sesuatu yang tidak kita kenal dalam demokrasi, yaitu kesantunan dalam berucap dan keramahannya. Sebenarnya, lebih tepat harus kita sebut teori baru, karena seperti kita ketahui, kesantunan dan demokrasi adalah dua sisi yang berbeda. Dalam kadar beragam, kesantunan selalu menyimpan sesuatu yang diam, sementara demokrasi selalu menuntut keterbukaan.

Century dan Lahirnya Tim Antagonis

Doa dan harapan yang dipanjatkan menjelang akhir 2009, langsung tenggelam pada ronde pertama pemerintahan SBY-Boediono. Protes, nyanyian, makian dan seterusnya dilantunkan untuk menandai kembalinya era kegelapan. Sebagian besar keraguan justru muncul dari hal-hal yang baru saja dielu-elukan.

Kondisi demokrasi terlihat suram, tak menyiratkan harapan. Tak berlebihan jika kita menyebut, Indonesia ibarat tempat yang tak pernah ramah bagi demokrasi. Dalam penurunan kualitas, demokrasi hampir kehilangan oposisi. Di jalan, orang-orang terus mengeluh, bahkan ada yang membakar ban. Asapnya hitam, tanda Indonesia sedang macet.

Sebenarnya ada beberapa usaha untuk keluar dari situasi ini. Sayangnya usaha itu dilakukan hanya segelintir orang saja, bukan merupakan satu kebiasaan bersama. Dalam demokrasi, benar, kepentingan akan selalu menang atas apapun. Namun kita melihat partai-partai jauh lebih mengedepankan pencapaian-pencapain jangka pendek, dibandingkan bersabar dan bekerja untuk memenangkan hati rakyat. Dan sayangnya, partai-partai raksasa pun macam golkar dan sebagian dalam diri PDIP tampaknya juga menganut keyakinan itu.

Sebelumnya banyak meragukan kekuatan Hanura dan Gerindra sebagai oposisi. Tidak banyak yang menyebut GOLKAR, PKS dan PDIP sebagai rival Demokrat. Namun demokrasi memang butuh reaksi kimia. Semua komponen mesti ada.

Sekali lagi demokrat adalah partai potensial, kandidat kuat pada pesta demokrasi 2014. Mereka senantiasa berhasil memanfaatkan bakat dan karakter yang dimiliki. Sang pemimpin bernama Susilo Bambang Yudhoyono, adalah seorang pemikir yang bisa bertindak. Dia seperti sutradara yang mengendalikan panggung politik.

Namun di politik semua bisa terjadi. Menjelang detik-detik terakhir 2009, terbuka kesempatan untuk satu demokrasi yang lebih seksi. Semua ini berkat perkembangan GOLKAR, PKS dan PDIP. Sebelumnya – sekali lagi – setelah bergabungnya partai GOLKAR dan PKS, dan PDIP yang abu-abu, kita sempat bertanya-tanya, benarkah oposisi tidak mesti terlembagakan?. Bisakah koalisi mengkritik saudaranya sendiri?.

Dan ternyata mereka menjawab “iya”. Meskipun kita tidak pernah tahu, adakah sandiwara di balik century, namun kelihatannya SBY dan Demokrat meradang. Sekarang, Kader demokrat seperti didera penyakit lupa, tentang definisi ciptaan mereka sendiri – definisi yang kadang saya pikir amat ganjil bersanding dengan demokrasi –, tentang makna koalisi dan oposisi. Sekarang, dengan apa yang telah mereka berikan, SBY dan Demokrat seperti tidak rela dikritik kawannya sendiri.

Satu hal yang menggembirankan, demokrasi memang sudah kembali, meskipun belum pada level yang memuaskan. semua ini berkat Century dan perkembangan oposisi yang kian hari kian menjanjikan. Partai-partai yang awalnya depresi setelah KO pada awal dan pertengahan 2009, perlahan mulai bangkit dan membalikkandan membalikkan prediksi semua orang. Mereka bekerja sangat baik dan mulai menuai citra positif di panggung politik. Demokrasi rasanya memang tidak bisa lepas dari politik pencitraan. Namun ingin kita sebagai masyarakat adalah, melihat citra bangun membangun dengan konstribusi nyata setiap partai. Untuk itulah kita butuh transparansi dan kerja media yang jujur, agar citra tidak menghianati fakta. ( Nasrul Sani M Toaha)